Benarkah Kristen Masuk Indonesia Pada Abad VII?




Atribut yang tersemat sebagai “agama penjajah” terhadap agama Kristen nampaknya masih menjadi aib besar bagi karya misi penginjilan di Indonesia. Kenyataan ini membuat berbagai pihak Kristen, termasuk Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), merasakannya sebagai beban sejarah.[1]Tidak heran jika pada masa kini sejumlah akademisi Kristen di Indonesia berupaya untuk merekonstruksi sebuah versi sejarah yang ramah terhadap eksistensinya. Diantaranya dengan mencetuskan teori bahwa Kekristenan “sebenarnya” telah tiba di Indonesia lebih awal dari era imperialisme dan kolonialisme Barat. Dengan demikian kedatangan Kristiani yang bersamaan dengan masa penjajahan bangsa Eropa hanya akan diposisikan sebagai “merebut kelupaan masa silam” saja.[2]

Dr. Huub J.W.M. Boelaars, OFM Cap., seorang pastor, dalam bukunya “Indonesianisasi Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia” menyatakan bahwa Agama Kristen, dalam hal ini Katolik, tiba di Indonesia lebih awal dari Agama Islam. Boelaars memperkirakan Katolik telah hadir pada abad VII di desa Pancur, Barus, Tapanuli. Sebagai rujukan, Boelaars meminjam analisa Jan Baker, SJ dalam tulisannya “Gereja Kristen Tertua di Indonesia” untuk menegaskan gagasan “kehadiran” awal tersebut.[3] Meskipun demikian Boelaars mengakui bahwa tidak terdapat jejak-jejak yang hidup maupun peninggalan sejarah yang membuktikan “kehadiran” itu.

Gagasan “Katolik Perintis” di nusantara ini dikembangkan dari tulisan sejarawan muslim Syaikh Abu Shalih al-Armini dalam karyanya “Tadhakur fihi Akhbar min al-Kanais wa’l Adyar min Nawahin Misri wal Aqtha’aha” yang ditulis pada abad XII. Karya tersebut telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggis oleh B.T.A. Evetts dengan judul “The Churches and Monasteries of Egypt and Some Neighbouring Countries” dan diberi catatan oleh A.J. Butler, MA, FSA. Dalam karya tersebut Syaikh Abu Shalih al-Armani menyebutkan adanya kota Fahsûr dimana terdapat memiliki komoditas perdagangan berupa camphor (al-kafur dalam bahasa Arab).

FAHSÛR, BUKAN FANSUR
            Tulisan yang menjadi rujukan Boelaars, awalnya berasal dari makalah Jan Bakker, SJ berjudul “Gereja Tertua di Indonesia” yang dimuat di Majalah Basis No. 18 (1969) hlm. 261-265. Tulisan itu adalah derivasi dari makalahnya yang lebih lengkap berjudul “Umat Katolik Perintis di Indonesia”.[4] Tulisan ini menjadi bagian dari versi resmi “Sejarah Gereja Katolik Indonesia” yang dipublikasikan oleh Bagian Dokumentasi – Penerangan Kantor Waligereja Indonesia.[5] Dalam uraiannya, banyak argumentasi yang dikembangkan untuk mendukung gagasan bahwa kedatangan Katolik di Indonesia dimulai pada abad VII. Meskipun demikian, satu-satunya referensi yang dianggap kuat dan menjadi sumber primer wacana tersebut berasal dari karya Syaikh Abu Shalih al-Armini, sejarawan muslim, dalam “Tadhakur fihi Akhbar min al-Kanais wa’l Adyar min Nawahin Misri wal Aqtha’aha”. Oleh karena itu untuk menyingkap fakta “kehadiran” Kristen tersebut bisa dilakukan dengan membaca ulang karya ini.
Tulisan Abu Shalih al-Armini dalam teks manuskrip yang dimaksud adalah sebagai berikut:[6]


Buku karya Abu Shalih yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul “The Churches and Monasteries of Egypt and Some Neighbouring Countries” oleh B.T.A. Evetts, MA dan diberi catatan oleh A.J. Butler MA, F.S.A. Kutipan di atas diterjemahkan B.T.A. Evetts ke dalam Bahasa Inggris sebagai berikut:
Fahsûr. Here there are several churches ; and all the Christians here are Nestorians ; and that is the condition of things here. It is from this place that camphor comes; and this commodity [is a gum which] oozes from the trees. In this town there is one church named after our Lady, the Pure Virgin Mary.[7]
Bakker sendiri menterjemahkan kutipan dari terjemahan B.T.A. Evetts ke dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut:
Abu Shalih, setelah memberitakan tentang gereja-gereja di India Selatan (Quilon, Travancore dan Mahamailiapura), menulis tentang keadaan Sumatra sebagai berikut:
“FANSUR: DI SANA TERDAPAT BANYAK GEREJA DAN SEMUANYA ADALAH DARI NASARA NASATHIRAH, DAN DEMIKIANLAH KEADAAN DISITU. DAN DARI SITU BERASALLAH KAPUR BARUS DAN BAHAN ITU MERECIK DARI POHON. DALAM KOTA ITU TERDAPAT SATU GEREJA DENGAN NAMA: BUNDA PERAWAN MURNI MARIA”.[8]

            Nampak bahwa Bakker telah mengalihkan kata Fahsûr menjadi FANSUR.[9]Selain itu juga menterjemahkan kata Bahasa Arab al-kafur (camphor) menjadi “KAPUR BARUS”. Kemudian informasi dari Abu Shalih bahwa terdapat “Kristen Nestorian” dianggap keliru oleh Bakker dan ia “meluruskannya” sebagai Katolik. Dengan adanya “pengubahan” ini maka Bakker sejak awal berusaha memunculkan kesan tentang adanya bukti “Gereja-gereja Katolik telah terdapat di sebuah desa bernama Pancur, Barus, Sumatra Utara” pada abad VII.
            Identifikasi Fahsûr dengan Pansur, sebuah desa di Sumatra, adalah kekeliruan yang fatal. Sejak awal nama tempat Fahsûr  ini oleh Abu Shalih al Armini sama sekali tidak pernah dimaksudkan untuk membahas wilayah di luar India. Kata “Fahsûr” ini di bahas di bawah perikop “India” dan diuraikan setelah kota Kulam(Quilon di Travancore, India) dideskripsikan. Setelah membahas kawasan di India, Syaikh Abu Shalih lantas membahas wilayah Yaman. Jadi, tentu saja bukan tempat yang ada di Pulau Sumatra – Indonesia.
            A.J. Butler M.A., F.S.A saat memberikan catatan terhadap terjemahan B.T.A. Evetts atas karya Syaikh Abu Shalih al-Armini, menjelaskan bahwa kata Fahsûrmemang tertulis dalam manuskrip aslinya. Kata ini seharusnya ditulis Mansûr, yaitu sebuah negara pada jaman kuno yang terdapat di Barat Laut India, terletak di sekitar Sungai Indus. Mansur merupakan negara paling utama yang terkenal di antara orang-orang Arab dalam hal komoditas kamfer (al-kafur).[10]
Pada masa kuno wilayah penghasil kamfer bukan hanya wilayah yang saat ini menjadi Indonesia. India dan beberapa kawasan lainnya juga telah dikenal menjadi penghasil kamfer. Di Indonesia saja terdapat dua pulau di Jaman kuno yang menghasilkan kamfer yaitu Sumatra dan Kalimantan. Daerah penghasil kamfer di Sumatra bukan hanya Barus yang terkenal dengan komoditi kapur Barus-nya, namun juga wilayah yang saat ini menjadi Aceh.[11]

Adolf Heuken, SJ merupakan akademisi Katolik yang turut menolak teori bahwa Katolik telah masuk ke Indonesia pada abad VII. Dalam tulisannya “Christianity in Pre-colonial Indonesia” ia mendukung catatan yang diberikan oleh A.J. Butler. Syaikh Abu Shalih al-Armini banyak menggunakan menggunakan referensi dari karya Abu Jafar al-Tabari (w. 923) dan Al Shabushti (w. 988) untuk menerangkan subyek yang sama tentang pembahasan Asia dan Afrika. Nama kota Fahsûr yang ada dalam tulisan Syaikh Abu Shalih maksudnya tidak lain adalah Mansûr, sebuah kota di India dengan komoditas camfer yang penting bagi orang-orang Arab. Heuken juga menjelaskan bahwa berdasarkan sejumlah penggalian memang ditemukan adanya koneksi tertutup antara Barus, India, dan Teluk Persia pada kurun IX hingga XII.[12]Namun tidak serta merta hal ini membuktikan keberadaan Kristen pada masa-masa ini. Tradisi oral tentang adanya tempat dekat Barus bernama “Janji Mariah”, yang kadang digunakan sebagai “bukti” keberadaan Kristen pada masa lampau, baru terbentuk pada periode yang lebih baru.

INDIA, BUKAN INDONESIA
            Beberapa catatan sarjana muslim Arab memang mengidentifikasi kawasan yang mungkin merupakan Indonesia pada masa sekarang sebagai “india”. Meskipun demikian, menggunakan karya Abu Shalih Al Armini untuk mendukung teori kehadiran Kristen pada abad VII di Indonesia adalah kesalahan fatal. Secara jelas, Syaikh Abu Shalih telah mendeskripsikan tempat bernama India atau juga disebut al-Hindah. Sebuah tempat dimana penduduknya memiliki kepercayaan pemujaan terhadap Buddha, penyembah matahari, dan penyembah api. Wilayah ini dikelilingi laut dimana dari arah Mesir harus menggunakan kapal. Tempat bernama India ini merupakan daerah penyembahan berhala pada masa kuno yang berbatasan dengan Persia.[13] Dari deskripsi tersebut dapat dipahami bahwa “India” yang dimaksud ini benar-benar India secara definitif, tidak mungkin keliru dengan wilayah di Indonesia. Dengan demikian karya Abu Shalih al-Armini tidak memaksudkan negeri Fahsûr yang ada di India sebagai Pancur yang ada di Sibolga, Barus, Sumatra Utara.
Selain itu Abu Shalih juga melakukan kesalahan dalam mengidentifikasi India sebagai wilayah Abyssinia (Ethiopia). Kesalahan ini justru merupakan bukti bahwa India yang dimaksud merupakan India dalam makna definitif. Kesalahan penyebutan India sebagai wilayah Abyssinia sebenarnya merupakan kekeliruan yang berasal dari era yang lebih kuno. Kebingungan membedakan antara India dan Abyssinia ini juga telah terdapat dalam sejumlah literatur Yunani kuno.[14] Sekali lagi, India yang dimaksud jelas tidak akan keliru dengan kawasan Indonesia. Sebab, meski ini “secara keliru”, wilayah Indonesia tidak pernah diidentifikasi sebagai “wilayah Abyssinia” sebagaimana India yang definitif.

Keberadaan Kristen Nestorian di India dapat dibuktikan pada sekitar abad VII ini. Cosmas Indiscopleustes, seorang pendeta Alexandria petualang pada abad VI, telah meninggalkan catatan keberadaan aktivitas Kristen di India. Dalam catatannya “Christian Topography” Cosmas menyebutkan terdapat sejumlah gereja di Malabar dan Ceylon yang dikelola pendeta dari Persia dan berada di bawah pengawasan seorang uskup Persia di Kalliana. Di sini jelas bahwa kekristenan di India mencakup kekristenan Nestorian, yang dianggap sebagai sekte heresy.[15]

Sebelum membahas tentang “Fahsûr”, Syaikh Abu Shalih al-Armini telah lebih dahulu membahas sejumlah kota lain di India seperti Kulam (Quilon) yaitu tempat dimana juga terdapat penganut Nashrani Nestorian. Di sana terdapat gereja dari Perawan Maria dan sejumlah orang suci lainnya.[16] Beberapa sarjana Katolik Roma percaya bahwa “makam St. Thomas”, salah satu murid Yesus ditemukan di Cathedral di Mailapur, daerah pinggir Madras. Namun apa yang dianggap sebagai bukti, menurut A.L. Basham, sejarawan India di University of London, tidak bisa memuaskan para sejarawan. Basham menyebutkan bahwa pergerakan missi yang cukup aktif di India dilakukan oleh sekte yang dianggap menyimpang, Nestorian. Katolik terutama dari Serikat Jesuit baru masuk ke India pada abad XVI dan XVII.[17]

Ketika para pelancong Eropa mengunjungi India mereka membuat catatan  tentang adanya gereja di utara. Marco Polo, pada akhir abad XIII, melihat Gereja Syria yang sering dianggap sebagai “makam St. Thomas”, sebutan yang populer diantara petualang. Namun gereja tersebut telah rusak. Sebutan “makam St. Thomas” tersebut, menurut Basham, tidak dapat dibuktikan sebagai benar-benar makam “orang suci” tersebut dalam makna yang harfiah. Orang Kristen Syiria pada masa ini dan sebelumnya banyak mengadopsi adat istiadat Hindu. Penganut Kristen di Malabar ini bahkan sedang menuju proses menjadi sekte Hindu yang menyimpang (heterodox Hindu), sebagaimana Budha maupun Jaina. Kedatangan Serikat Jesuit pada sekitar abad XVI dan XVII masih sempat mencegah kemerosotan lebih lanjut dari proses ini. Hasilnya, satu seksi dari gereja Syria itu bersedia menerima otoritas dari Roma.[18]

OTORITAS VATIKAN
Kehadiran Kristen paling awal, dalam hal ini Katolik, di nusantara lebih tepatnya dimulai sejak penaklukan dan penjajahan bangsa Portugis pada 1511 terhadap Malaka.[19] Kedatangan Portugis ke wilayah Timur ini dapat dirunut dari semangat “penjelajahan” dunia yang tumbuh di Eropa pasca “penemuan” Amerika oleh Columbus dan Amerigo Vespucci. Semangat penjelajahan yang timbul dari upaya penemuan sumber rempah-rempah dan semangat perang salib di Eropa ini telah menciptakan kondisi persaingan yang mengarah pada konflik antara Spanyol dan Portugis. Untuk menghindarkan efek lanjutan yang buruk atas konflik ini, Paus Alexander VI tergerak untuk melakukan intervensi. Melalui dokumen tertanggal 4 Mei 1493, Paus Alexander VI membagi dunia menjadi dua bagian. Sebuah garis imajiner ditarik ke kutub utara dan kutub selatan melewati kurang lebih 749 km sebelah Barat Kepulauan Azores atau Kepulauan Tanjung Hindia. Semua daerah yang terletak di sebelah timur garis yang kemudian di sebut “Timur” ditetapkan menjadi milik Portugis untuk dikuasai dan dikristenkan. Sementara semua daerah di sebelah barat garis yang kemudian disebut “Barat” ditetapkan oleh Paus menjadi tugas Spanyol.[20]

            Ketidakpastian garis tersebut menimbulkan kesulitan diantara kedua kerajaan. Mengingat keduanya memiliki ambisi lebih besar, menginginkan lebih banyak dari yang telah ditentukan.  Persetujuan baru tercapai dengan Perjanjian Tordesillas (7 Juli 1494). Garis yang ditentukan melalui 2738 km sebelah Barat Kepulauan Hijau untuk penemuan-penemuan pulau yang masih akan dilakukan dan 1850 km bagi semua hasil yang sudah ditemukan oleh Castilla sampai 20 Juni 1494.[21]
Hal ini masih menimbulkan persengketaan ketika Spanyol tidak mau melepaskan Maluku. Paus kemudian memaksa Spanyol menjual Maluku kepada Portugis. Charles V menjual Pulau Maluku ini dengan harga 350.000 crusados dan mempertahankan semua daerah di sebelah barat Bujur Timur 17 derajat (Perjanjian Saragosa).[22] Kesepakatan yang terbentuk, Spanyol menguasai Philipina dan Portugis menguasai Maluku.[23]

            Dengan adanya Portugis di Maluku maka berkembanglah agama Katolik. Pertentangan antara Portugis dan umat Islam mulai terjadi. Konflik semakin memanas ketika Portugis mulai ikut campur dalam pemerintahan. Sultan Tabariji, raja Ternate, ditangkap oleh Portugis dengan tuduhan palsu dan dibawa ke Goa. Tuduhan ini tidak terbukti hingga 10 tahun kemudian. Maka Portugis hendak mengembalikan sang raja ke tahtanya, namun rakyat menolak dengan alasan sang raja telah menjadi kafir semasa dalam “tawanan”

Portugis. Raja ini telah menganut agama Katolik dengan nama Manuel. Portugis kemudian menggunakan tipu muslihat keji untuk melenyapkan penggantinya, yang bernama Sultan Hairun. Sultan yang terakhir ini dibunuh dengan sangat licik dan kejam. Putra Sultan Hairun, yaitu Sultan Baabullah kemudian memimpin perlawanan jihad terhadap orang-orang Portugis. Tidore dan beberapa pulau lainnya yang pada masa sebelumnya menyimpan konflik akhirnya mau bekerja sama untuk memusnahkan orang kafir. Dalam tahun 1575 benteng Portugis di Ternate jatuh, maka habislah riwayat mereka di Maluku Utara. Portugis masih dapat bertahan di Pulau Hitu (Ambon). Di Pulau ini nyatanya Portugis tidak disukai. Berulangkali rakyat Ambon berusaha mengusir mereka. Akhirnya berkat bantuan armada dari Seram dan Banda, pada tahun 1575, Portugis berhasil diusir juga dari Maluku Utara.[24]

Sebagai konsekuensi penetapan garis demarkasi tanah jajahan di atas, Paus memberikan syarat kepada kedua negara untuk memajukan misi Katholik Roma di tanah jajahan yang telah diserahkan. Pertalian gereja dan negara pada masa itu cukup erat. Raja-raja memiliki kerelaan hati untuk melayani kepentingan gereja.[25]Spanyol misalnya, digambarkan oleh Dr. H. Embuiru SVD, merupakan negara Katolik dan sekaligus negara misionaris. Dimana ada Spanyol maka disana berdiri Gereja. Salib dan mahkota berjalan beriringan. Gereja dan negara merupakan satu kesatuan.[26] Demikian juga Portugis secara sadar menuju ke Timur untuk berdagang dan menyebarkan agama, termasuk dalam cakupan ini adalah penjajahan.[27]

Jadi sudah benar jika pada tahun 1934 umat Katolik merayakan upacara meriah menyambut “400 Tahun Katolisisme di Hindia” yang buku kenangannya diterbitkan dalam nomor yubileum istimewa di Maandblad Sociaal Leven No. 15, nomor rangkap 2/3, Batavia, 1934. Juga tepat bila pada 8-12 Juli 1984 Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia (PNUKI) merayakan “450 tahun Katolisisme di Indonesia” yang dihadiri 450 orang wakil keuskupan di Indonesia. Perayaan ini didasarkan bahwa pada 1534 terdapat orang Indonesia pertama yang dibaptis oleh pendeta Katolik yang datang satu rombongan dengan Penjajah Portugis.[28]

Bagi kalangan misi Kristen, kolonialisme sebenarnya dianggap sebagai sesuatu yang lumrah terjadi. Kewajaran ini didasarkan pada analogi terhadap proses-proses kronologis yang pernah terjadi. Sejarah mencatat bahwa penguasaan suatu suku terhadap suku yang lain dengan dibungkus sebuah ideologi tertentu merupakan kenyataan sejarah yang telah berlangsung berabad-abad. Pandangan ini melahirkan pemikiran bahwa kolonialisme sebuah negara dan penaklukan suatu wilayah negara oleh negara lain adalah sebuah hal biasa. Pandangan ini diungkapkan dalamEnsiklopedia Gereja sebagai berikut :
Kolonisasi suatu suku bangsa atas suku-suku bangsa lain dalam suatu negara yang sama adalah biasa di Asia dan Afrika. Jadi kolonialisme dl bentuk yg sedikit berbeda terdapat pd segala masa dan daerah, dan tetap dibenarkan dgn ideologi-ideologi yg ‘bagus’. (sic!).[29]

Memisahkan antara perdagangan, penjajahan, dan penyebaran agama dari motif ekspansi Barat di nusantara jelas akan menghasilkan gambaran yang parsial. Keuntungan yang diperoleh, baik dari kegiatan ekonomi maupun penjajahan, sebagian akan masuk ke kas gereja dan digunakan dalam pembiayaan operasionalnya, termasuk penyebaran agama. Gereja mendapatkan bagian sebesar sepuluh persen dari keuntungan tersebut. Inilah yang dalam kekristenan disebut dengan konsep perpuluhan.[30]
Jadi, jika mereka datang bersama “penjajah” dan turut menikmati “kue” hasil dari proses “penjajahan” yang berlangsung, masihkah kita akan beranggapan bahwa missionarisme berjalan terpisah dengan penjajahan?

PENUTUP
            Teori yang menyatakan bahwa Agama Kristen telah datang di Indonesia pada abad VII, tidak didasarkan pada fakta yang solid. Referensi yang digunakan sebagai pendukung argumen tidak kompatibel dan cenderung dipaksakan. Sumber Arab yang digunakan lebih merupakan deskripsi tentang wilayah yang ada di India, bukan di Indonesia. Deskripsi atas kawasan bernama “India” itu pun benar-benar meyakinkan bahwa wilayah yang dimaksud memang benar-benar India secara definitif. Buktinya pun terdapat dalam karya Arab Syaikh Abu Shalih Al-Armini. Hanya saja nampaknya bukti-bukti ini diabaikan dengan sengaja. Mungkin saja karena alasan menguatnya motif dan kepentingan tertentu.
Memaksakan sumber untuk wilayah lain dengan “mengubah”-nya menjadi “Indonesia” jelas akan menghasilkan konklusi yang tidak tepat. Teori kedatangan Kristen abad VII di Indonesia dan membentuk sebuah komunitas di Sumatra Utara hakikatnya merupakan klaim yang tidak berdasar. Catatan akhir yang perlu dikemukakan di sini bahwa kebenaran, dalam kasus seperti ini, tidak bisa dihasilkan dari proses memanipulasi sumber referensi.
Penulis: SusiyantoPeneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)Dipublikasikan ulang seizin penulis dari www.susiyanto.wordpress.com

sumber 

0 Response to "Benarkah Kristen Masuk Indonesia Pada Abad VII?"

Posting Komentar