Apakah
setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang
tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang
(di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu
bunuh? (QS al-Baqarah [2]: 87).
KEBENCIAN kaum Yahudi terhadap umat
Islam selalu menjadi sebuah perbincangan serius di dalam Al Qur’an.
Allah berkali-kali menjelaskan sifat kaum ini yang sungguh tidak rela
ketika Islam tumbuh menjadi agama yang benar. Salah satu misi tersebut
kini banyak diemban oleh para orientalis Yahudi. Salahsatunya adalah
Abraham Geiger (1810-1874).
Bisa dikata Geiger adalah orang yang
pertama kali mengatakan Al Qur’an dipengaruhi agama Yahudi. Anda tahu
apa judul essainya hingga kemudian memenangkan kompetisi masuk
Universitas Bonn tahun 1832? Sangat provokatif, yakni “Apa Yang Diambil
Muhammad Dari Yahudi”. Essai ini langsung diseleksi Professor Georg B.
F. Freytag dari Fakultas Oriental Studies, Universitas Bonn. Hasilnya, Geiger menang dan mendapat hadiah dari hasil tulisannya. Padahal, saat itu usianya baru 22 tahun
Setahun kemudian essai tersebut lantas diterbitkan dengan judul “Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen?”.
Seperti dikuti dari buku Adnin Armas, Metodeologi Bibel dalam Studi
Qur’an, (dalam tulisannya) Geiger menuding kosa kata Ibrani memiliki
pengaruh signifikan. Geiger mengutip sebagian kata dalam Al Qur’an yang
identik dengan Ibrani seperti Tabut, Taurat, Jannatu ‘And, Jahannam,
Ahbar, darasa, Rabani, Sabt, Thaghut, Furqan, Ma’un, Mathani, Malakut.
Geiger juga berpendapat Qur’an terpengaruh ketika mengemukakan, (a)
hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin (b) peraturan-peraturan
hukum dan moral dan (c) pandangan tentang kehidupan. Selain itu, Geiger
berpendapat cerita-cerita yang ada di dalam Al Qur’an pun tidak lepas
dari agama Yahudi.
Senada dengan Geiger, seorang Yahudi
lainnya bernama Joseph Horovitz juga menulis dua buah tulisan untuk
menyatakan peran Bahasa Yahudi dibalik redaksi Qur’an, yakni sebuah buku
berjudul Das koranische Untersuchungen (1923) dan sebuah artikel bertuliskan Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran (1925).
Pandangan Geiger ini kemudian diikuti
oleh banyak sarjana lainnya, seperti Günther Luling dan Christoph
Luxemberg. Karya terbaru yang menghimpun beberapa hasil kajian
historis-kritis ala Geiger ini adalah buku yang diedit oleh Tilman
Nagel, yaitu Der Koran und sein religiöses und kulturelles Umfeld
(2010).
Pesan yang ingin Geiger sampaikan adalah
bahwa Qur’an bukanlah sebuah kitab yang suci dan menuding bahwa pada
dasarnya Nabi Muhammad bukanlah seorang yang ummi. Pandangan ini banyak
ditekankan oleh Geiger.
Hartwig Hirschfeld (1854-1934), seorang
Yahudi Jerrnan kelahiran Prussia, juga memfokuskan betapa pentingnya
melacak kosa kata asing (Fremdworter) Al-Qur’an. Hirschfeld, yang mendapat gelar doktor ketika berusia 24 tahun, menulis disertasi doktoralnya dengan judul Judische Elemente im Koran. Ein Beitrag zur Koranforschung,
Berlin 1878 (Elemen-elemen Yahudi dalam Al-Qur’an. Sebuah Sumbangan
untuk Penelitian Al-Qur’an). Delapan tahun kemudian, Hirshfeld menulis
Beitrage zur Erklarung des Koran, Leipzig 1886 (Sumbangan untuk Tafsir
Al-Qur’an). Ia juga menulis New Researches into the Composition and Exegesis of the Qoran, London, 1901 (Penelitian-penelitian Baru dalam Penulisan dan Tafsir Al-Qur’an).
Menurut Hirshfeld, Muhammad bisa membaca
dan menulis. Dalam pandangan Hirshfeld, Muhammad mengetahui aksara
Ibrani tatkala berkunjung ke Syiria. Selain itu, fakta menunjukkan
Muhammad bisa menulis ketika di Medinah. Sulit dipercaya, tegas
Hirshfeld, jika Muhammad tidak bisa menulis ketika ia berusia di atas 50
tahun. Selain itu, Hirshfeld berpendapat banyaknya nama-nama dan
kata-kata yang diungkapkan di dalam Al-Qur’an menunjukkan Muhammad
salah membaca catatan-catatannya yang dibuat dengan tangan yang tidak
memiliki skill (The disfigurement of many Biblical narnes and words
mentioned in the Qur’an is due to misreadings in his own notes rnade
with unskillful hand).
Pernyataan Geiger, Horovitz dan
Hirschfeld sudah jauh-jauh hari dipatahkan Al Qur’an itu sendiri. Allah
SWT dalam surat Al Fushilat ayat 44 berfirman, “Dan jika Kami
jadikan Al Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah
mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”. Apakah
(patut Al Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab?
Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang
yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada
sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu
adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan
bahwa Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab karena ia adalah bahasa
yang paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih mengena lagi cocok
untuk jiwa manusia. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu
Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (yaitu Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam) dengan bahasa yang paling mulia (yaitu
bahasa arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu
malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang
paling mulia di atas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya
pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Ramadhan), sehingga Al-Qur’an
menjadi sempurna dari segala sisi.”
Abu Ubayd menjelaskan sekalipun asal
muasal kosakata Qur’an bersinggungan dengan bahasa Asing, tidak serta
merta bahwa Al Qur’an berasal dari bahasa lain, karena kosakata asing
tersebut sudah terarabkan dan memiliki makna tersendiri. Allah, dalam
konsep pra-Islam, berbeda dengan Allah dalam konteks agama Islam. “Ini
disebabkan Islam membawa makna baru. Islam telah meluruskan,
mengIslamkan ajaran yang salah dari jahiliyah, agama Yahudi dan
Kristen,” tegas Prof Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya The Educational Philosophy.
Hal senada juga dikatakan oleh Syed Naquib Al Attas. Dalam bukunya, The Concept Education in Islam,
pendekar Ilmu dari Melayu ini mengatakan bahwa Islamisasi yang
dilakukan Rasulullah SAW dengan tanda turunnya wahyu menjadikan bahasa
sebagai media yang sangat penting. Bahwa hal pertama yang dilakukan
al-Qur’an adalah merombak struktur semantik konsep-konsep kunci dalam
bahasa Arab Pra Islam dan memberinya makna baru seperti kata Allah,
Haji, maupun nikah. Itulah yang membedakan Al Qur’an dan kitab suci
lainnya.
Karenanya, seperti dikatakan Sayyid Quthb dalam bukunya Indahnya Al Qur’an Berkisah, menjelaskan
mengapa sebagai sebuah kitab suci, al-Qur’an dapat melumpuhkan bangsa
Arab. Pakar sastra ini berkesimpulan rupanya al-Qur’an tidak saja kaya
dengan susunan redaksinya, tapi juga mengikat beberapa ayat dengan unsur
tasyri (penetapan hukum) yang dirasa adil, detail, dan amat tepat
digunakan dalam setiap zaman. Yang ini tidak akan mungkin mencoba
diselarsakan dalam konteks bahasa Ibrani dengan menjadikan agama Yahudi
sebagai induknya. Karenanya, tuduhan dari Geiger, Horovitz dan Hirshfeld
bahwa Al Qur’an menjiplak kata-kata dalam Yahudi menjadi gugur dengan
sendirinya.
SEORANG
psikolog terlihat resah. Ia diberitahu ada psikolog muslim yang baru
saja berhasil menasehati orangtua seorang anak. Pasalnya mungkin tidak
sepele, psikolog muslim itu menerima aduan “unik” dari orang tua yang
memiliki anak berusia tiga tahun.
Rupanya anak ini memiliki kebiasaan
tidak lazim. Ia sering terlihat tidak bisa tenang, mudah meledak dan,
juga menyimpan kebiasaan aneh: kerap menggaruk-garuk (maaf) anusnya.
Lalu sebagai seorang psikolog muslim, pada orangtua si anak, ia
mengatakan bahwa tingkah laku sang anak adalah normal. Dengan ilmu
psikologinya, ia menganalisa bahwa perangai itu disebabkan karena anak
sedang menjalani tahap perkembangan seksual yang normal pada masa anal.
“Itu biasa, bu. Tidak usah khawatir,” begitu kira-kira pesan si psikolog
muslim kepada sang ibu.
Mendengar cerita ini, si psikolog tadi
tercengang. Ia kaget mendapati seorang seorang psikolog muslim memberi
nasehat dengan kata-kata seperti itu. Bagaimana tidak? Nasihat psikolog
muslim tersebut nyata-nyata didasarkan pada teori Freud.
Sigmund Freud (1856-1938) adalah
psikolog Yahudi yang menyatakan bahwa kepuasaan insting seksual seorang
anak pada usia ini diperoleh dengan cara menahan dan mengeluarkan
kotoran. Hal itu sedikit banyak membuat anak kerap menggaruk bokongnya
berkali-kali sebagai sebuah kenikmatan. Freud memang beranggapan sumber
kebahagiaan manusia bukanlah agama, namun seksualitas. Agama justru
sebaliknya. Ia adalah ilusi. Ilusi yang sengaja diciptakan manusia dari
mimpi-mimpinya. Seperti jika kita berdoa, kita tahu Tuhan tidak
terlihat, tapi manusia sengaja “dihadirkan” manusia agar yakin doanya
makbul.
Kisah diatas dibacakan oleh DR. Malik
Badri pada tahun 1975 dalam rapat tahunan ke-4 Perkumpulan Ilmuwan
Sosial Muslim (AMSS) Amerika dan Kanada.DR. Malik Badri sendiri adalah
seorang akademisi muslim asal Sudan yang kini mengajar di Fakultas
Psikologi, Universitas Kebangsaan Malaysia. Saat itu, secara lantang ia
membawakan makalah berjudul “Psikolog Muslim dalam Liang Biawak”. Tulisan itu sendiri mengguncang denyut nadi tiap ilmuwan muslim atas sekularisme yang (secara tidak sadar) melanda mereka.
Kata akademisi yang bulan lalu
mengunjungi Indonesia itu, pemakaian kalimat “dalam lubang biawak”
sengaja dipakai karena bersumber dari hadis terkenal Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika beliau meramalkan bahwa akan tiba
saatnya nanti orang-orang Islam secara membabi buta mengikuti cara hidup
orang-orang Yahudi dan Kristen. “Hal ini dengan indahnya diungkapkan
dalam pernyataan nabi: bahkan jika mereka masuk dalam lubang biawak
sekalipun, orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya,” tulis DR.
Malik Badri pada makalah yang kini telah menjadi buku berjudul Dilema Psikolog Muslim.
Rupanya inflitrasi teori dari seorang
pengikut mazhab Hasidisme Yahudi bernama Sigmund Freud itu betul-betul
menghabisi harga diri perempuan. Tengoklah pengembangan ide yang
digariskannya pada teori (maaf) penis envy (kecemburuan penis) miliknya.
Menurut Freud, anak perempuan pada usia
tiga tahun memiliki kecemburuan pada anak lelaki. Mereka berkembang
menjadi pribadi minder karena merasa iri tidak memiliki penis layaknya
anak laki-laki. Mulai detik itu, kata Freud, perempuan mulai membenci
dirinya. Ada perasaan tidak adil meliputi hati tiap wanita cilik. Mereka
tidak terima nasib ditakdirkan Tuhan berbeda jenis kelamin dengan pria.
Selanjutnya, terang psikologi Yahudi itu, jika hal ini tidak teratasi,
anak cenderung menjadi pribadi introvert dan rendah diri pada masa
dewasanya. Jadi masa lalu sangat mewarnai kehidupan masa depan.
Tidak hanya itu, Freud juga menguliti
kepribadian anak-anak wanita dalam titik terendah. Kata Freud, anak
wanita berumur tiga tahun memiliki keinginan untuk meniduri ayahnya, ya
dalam arti sebenarnya. Kecintaan besarnya terhadap ayah, membuat anak
perempuan diwarisi kedengkian terhadap seorang ibu. Inilah yang kemudian
menjadi “sabda” dunia psikologi abad 20 atas apa yang disebut dengan
Kompleks Oedipus.
Zakaria Ibrahim dalam bukunya Psikologi Wanita
membeberkan fakta yang lebih sadis lagi. Ia menemukan bahwa sebagian
psikolog mengklaim proses inilah yang menyebabkan kenapa banyak anak
perempuan senang menyiram kebun. Sebab dengan memegang selang air atau
gagang penyiram, anak perempuan merasakan seolah-seolah sedang memegang
penis dan kencing dengan jarak yang jauh. Pernahkah kita mendengar kisah
Havlock Ellis tentang seorang pasien wanita yang tersentak begitu
mendengar suara pancuran air mancur? Ya kira-kira seperti itu ide
sinting Freud.
Rupanya ide Freud tidak semanis seperti yang ia bayangkan. Daniel Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di New York Times
mengatakan bahwa gambaran Freud tentang diri manusia merupakan model
paling dekat yang dapat diraih peradaban Barat. Di Seville, Spanyol pada
tahun 1986 sekelompok ilmuwan bertemu, termasuk ahli-ahli psikologi,
ilmuwan syaraf, ahli genetika, antropolog, dan ilmuwan politik, dan
menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah bagi anggapan bahwa manusia
seperti yang digambarkan oleh Freud. Freud dinilai mengada-ada dan
terlalu memaksakan percepatan kedewasaan psikologis manusia bahwa anak
berumur tiga tahun sudah mempunyai birahi tinggi untuk meniduri
orangtuanya.
Bahkan Ibrahim al-Jamal, dalam bukunya Penyakit-penyakit hati
menemukan temuan yang berbeda dalam oedipus komplek. Menurutnya, suatu
kali yang terjadi adalah kebalikan dari skema anak cinta ibu dalam
kompleks Oedipus. Selama ini kita kenal bahwa kompleks tak lazim ini
berpusat kepada aktivitas erotik sang anak terhadap ibu atau ayahnya.
Namun kita tak dapat mengelak ketika yang terjadi adalah tak jarang
seorang ibu yang sangat mencintai anaknya, hingga keduanya mengalami
problem-problem psikologis.
Inilah gambaran orang yang tidak
memiliki iman. Bahwa manusia seperti dikebiri oleh nafsu jasmaninya.
Padahal, dalam tiap diri manusia telah tertancap sebuah fitrah. Ia
diberi bekal untuk bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil.
Bahkan dengan kesungguhannya ia bisa melawan sifat buruknya.
.............................bersambung
0 Response to "Tokoh-tokoh Yahudi yang Merusak Pemikiran (2)"
Posting Komentar