MALU UNTUK (tidak) KORUPSI

Zaman ini –bisa dikatakan- hampir semua lini dan semua aparat
Penyelenggara Negara terlibat korupsi. Entah itu dengan modus
mark-up anggaran, penyalahgunaan fasilitas negara,
penyelewengan penggunaan anggaran, nepotisme, suap, dan
sebagainya. Jika kita mengamati perkembangan pengungkapan
kasus korupsi, sadar atau tidak saat ini frame tentang korupsi bukan
lagi menyangkut sebuah tindak kriminal melainkan telah beralih
menjadi sebuah gaya hidup. Malu untuk (tidak) korupsi.!
Saya rasa sedikit dari kita yang tercengang ketika beberapa waktu
yang lalu LSM Transparansi Internasional Indonesia (TII) merilis hasil
survei bahwa Indonesia menempati posisi pertama sebagai NEGARA
TERKORUP di Asia. Hal tersebut tidaklah mengherankan mengingat
banyaknya fakta-fakta mencengangkan tentang praktik korupsi
yang menggurita. Bagaimana tidak, anggota DPR saja yang disebut
sebagai ‘anggota dewan yang terhormat’, serta bertitel ‘wakil
rakyat’ banyak diantaranya yang diciduk KPK karena kasus
Korupsi. Kemudian Kejaksaan Agung dan Kepolisian yang dipercaya
sebagai salah satu instrumen pemberantasan korupsi ternyata
petinggi-petingginya ‘bermain mata’ dengan para koruptor
dengan menjadi makelar kasus. Kasus Gayus adalah contoh nyata
dari ironi ini. Tidak hanya itu sampai saat ini banyak (dan terindikasi
akan terus bertambah) Pejabat Publik yang sudah masuk bui karena
kasus Korupsi.
Beranjak dari fenomena tersebut muncul berbagai pertanyaan
dibenak kita, bagaimana hal ini bisa terjadi? lalu apa sebenarnya
penyebab maraknya kasus korupsi di negeri ini?. Itu hal yang perlu
kita ketahui.
Sebenarnya jika kita berfikir mendalam, penyebab korupsi –seperti
kasus kejahatan lainnya- tidak terlepas karena adanya NIAT Dan
KESEMPATAN. Cuma dua hal itu. Niat berkaitan erat dengan
keperibadian/karakter para penyelenggara negara dan Kesempatan
berkaitan dengan sistem Penyelenggaraan Negara. Para koruptor
adalah orang-orang yang bermental bobrok dan tidak memiliki Iman.
Jika para penyelenggara negara telah memahami betul perbuatan
korupsi itu adalah Haram maka kesadaran inilah yang akan menjadi
pengontrol bagi setiap individu untuk tidak berbuat melanggar
hukum Allah SWT.
Akan tetapi ternyata hal yang paling berkontribusi terhadap
maraknya tindak korupsi adalah rusaknya sistem politik di negeri ini.
Kerusakan sistem inilah yang sesungguhnya memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada aparatur pemerintahan
maupun rakyatnya untuk secara berjamaah melakukan Korupsi.
Sistem politik dan pemerintahan kita telah rusak serusak-rusaknya.
Kita ambil contoh sistem hukum kita yang tidak jelas, sanksi yang
terlalu ringan, praktek jual beli perkara, serta aparat hukum yang
lemah dan pandang bulu. Belum lagi konsep pemilu dan pilkada yang
melahirkan pemimpin-pemimpin yang berotak dagang, ‘membeli’
jabatan dengan biaya politik yang mahal kemudian ketika terpilih
berupaya keras untuk ‘mengembalikan’ modal bila perlu harus
dapat untung.
Sistem demokrasi dan korupsi ibarat setali tiga uang. Saling
mendukung. Demokrasi yang ditopang oleh Sekulerisme dan
Kapitalisme sudah pasti menjadi lahan subur bagi para koruptor.
Aturan hukum di negara demokrasi penuh dengan kecacatan dan
syarat akan kepentingan Pengusaha dan Penguasa. Dalam negara
demokrasi yang bisa menjadi aparat penyelenggara negara pastilah
orang yang beruang. Dan untuk memperoleh jabatan dan posisi
pastilah mengeluarkan modal. Oleh karena itu korupsi adalah cara
paling jitu untuk mengembalikan modal. Di dunia ini negara
demokrasi (termasuk AS) sudah pasti sarat dengan praktek korupsi.
Lalu apakah kita akan berdiam diri menonton fenomena ini?.
Tentunya jawaban kita pastilah tidak. Kita harus bisa
memformulasikan solusi yang solutif untuk memberantas praktik
korupsi ini. Untuk menangani kasus korupsi harus dilakukan dua
pendekatan penyelesaian sekaligus yakni pendekatan praktis dan
pendekatan sistemik. Pendekatan praktis yang bisa diterapkan salah
satunya seperti yang dicontohkan oleh khalifah Umar Bin Khaththab
RA. Yakni sistem pembuktian terbalik dimana setiap aparat
penyelenggara negara yang akan diangkat terlebih dahulu dihitung
jumlah kekayaan pribadinya sebelum dilantik, lalu dihitung kembali
saat dia diberhentikan. Jika terdapat indikasi jumlah tambahan harta
yang tidak wajar maka harta tersebut harus disita.
Akan tetapi tentunya hal yang harus segera kita laksanakan jika
ingin melihat kehidupan kita bersih dari korupsi adalah
melaksanakan perubahan sistemik. Sistem politik dan pemerintahan
yang ada saat ini harus segera dirubah dengan sistem yang telah
terbukti dan teruji lebih baik yakni dengan sistem islam yang
diterapkan oleh Daulah Khilafah Islamiyyah. Hanya dengan langkah
tersebut kehidupan kita akan lebih baik. Insyaallah#

0 Response to "MALU UNTUK (tidak) KORUPSI"

Posting Komentar