Tragedi MESUJI, Refleksi Derita Kaum Tani

Headline


Tragedi kekerasan di Mesuji, Lampung adalah tragedi buruk kaum tani tak bertanah. Sampai sejauh ini, kaum tani di Indonesia mayoritas tak punya lahan. Ketersediaan lahan adalah persoalan terbesar yang dihadapi mereka.
Selama periode pasca-reformasi korban petani penggarap yang meninggal dunia mencapai 120 orang, akibat diterjang peluru aparat, padahal disisi lain proses perkembangan organisasi tani nasional tumbuh subur bak jamur. Namun ironisnya dua sisi tersebut tidak pernah saling bertemu, seolah masing-masing berjalan direlnya sendiri.
Ketua Serikat Petani Pasundan (SPP) Agustiana menyatakan, proses perjuangan kaum tani tak bertanah dan petani gurem yang jumlahnya jutaan di negeri ini pada awal reformasi seperti mendapat gairah dan tenaga baru untuk bangkit dan merebut kemenangan, namun setelah melalui proses panjang ternyata tidak menemukan titik terang.
“Kita tahu, proses pemiskinan bagi rakyat di pedesaan pada jaman Orde Baru ternyata tidak berhenti setelah terjadinya reformasi, namun semakin menjadi-jadi. Ini dibuktikan dengan data yang diperoleh menunjukan bahwa angka petani tak bertanah dan petani gurem semakin tinggi, inilah yang membuat kami kecewa,” ujar Agustiana, dalam sebuah keterangan tertulisnya, baru-baru ini.
Hal ini dapat dilihat dari fenoma pemiskinan yang dialami kaum tani. Merujuk pada laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2009, dari total 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) di Indonesia, terdapat 6.1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar.
Saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten. Hal ini menunjukkan bahwa desa yang merupakan sumber produksi pangan ternyata penduduknya dililit kemiskinan. Kemiskinan penduduk desa ini ditandai dengan kepemilikan tanah yang sempit dan rata-rata hanya sebagai tanah garapan.
Sensus Pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2007 ada 27 juta rakyat tak bertanah dan 56,5% dari mereka memiliki kurang dari 0,5 ha lahan (dibandingkan dengan 40,8% pada 1983). Meningkatnya jumlah petani gurem (near landless) disebabkan pembangunan areal perkebunan besar, sehingga area pertanian perkebunan menjadi meningkat dari 5 juta pada 1983 menjadi 11,7 juta pada 2003.
Dari kondisi di atas kiranya sangatlah perlu untuk mendudukan kembali perjuangan petani tak bertanah dan petani gurem sebagai inti dan sejatinya dari perjuangan gerakan tani demi mencapai rakyat sejahtera dan Indonesia yang lebih baik serta berkesesuaian dengan nilai – nilai luhur yang dimilki oleh masyarakat agraris.
Setiap tahun terjadi ratusan ribu lahan pertanian dikonversi. Semakin lama lahan para petani makin menyempit, bahkan banyak yang tidak punya lahan. Para petani terpaksa menolak RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan karena memungkinkan semakin tingginya ketimpangan lahan dan dilanggarnya hak-hak dasar petani.
Karena itu, DPR dan pemerintah perlu didorong agar menjalankan RUU Pelaksanaan Reforma Agraria dan mendesak pemerintah untuk segera melaksanakannya sebagai upaya mengatasi ketimpangan, kemiskianan dan ketidakadilan. Maukah DPR dan pemerintah? (sumber:inilah.com)

0 Response to "Tragedi MESUJI, Refleksi Derita Kaum Tani"

Posting Komentar